Sabtu, 27 Desember 2014

The Chronicles of Malaysia : Fatur, Bekasi and The Holly IIP

Jadi gini, ceritanya gue dan Sucia ama Si Manusia Ikan Teri a.k.a. Fatur adalah tiga anggota Forum Kajian Praja yang rajin menulis. Fatur rajin menulis, gue rajin nyemangatin Fatur agar rajin menulis dan Sucia rajin ngingetin Fatur agar terus rajin menulis. Kami adalah tim yang rajin menulis.

Pada suatu April 2014, Fatur dengan jari - jari tangan ajaibnya telah melakukan suatu hal yang fenomenal, fantastic dan sensual dengan mengirimkan sebuah abstract tulisannya ke panitia International Conferrence On Public Organization (ICONPO) ke IV yang diadain di luar negeri. Dan.... Puja Kuda Lumping Manusia Teri, Papernya masuk kualifikasi :D

Syahdan (ciah), abstract sudah diterima dan dinyatakan lolos kualifikasi. Dan karena paper yang dikirim Fatur mengatasnamakan juga gue dan Sucia juga maka dengan terpaksa kami harus bekerjasama dan bau membau. eh, bahu membahu, ding. Lalu dalam proses penyelesaian makalah, sms-sms dari Fatur bak teror yang menghantui gue dan Sucia :

"dimana kalian?"
"aku butuh tenaga"
"cepat kesini"
"terlambat sedikit keluarga kalian mati"
"hahaha"
serem.

Fatur meneruskan perjuangan menyusun makalah yang berjudul Poverty Allevation in Nagari Tabek Panjang (terjemahan : dilarang merokok di kios bensin). Sedang Gue dan Sucia sebenarnya adalah Alfa Link dalam wujud manusia, yang lebih bertugas buat nyemangatin Fatur dan menghilang saat dibutuhkan. kita memang tim.

Syukurlah makalah yang diminta selesai. Sekarang adalah waktunya menunggu  proses penyelesaian ijin dan dana. Dan akhirnya pada agustus 2014 gue dapat sms dari Fatur yang ga kalah horornya sama sms mama minta pulsa : "Kita jadi berangkat ke Malaysia, ada dana dari lembaga buat biaya kita kesana, siapkan segala keperluan".

Siapkan segala keperluan bisa berarti menyiapkan fisik, otak, mata uang yang ga bisa dibuat beli batagor dan mental buat jadi orang terkenal. uwoh. Gue bakal jadi orang pertama di keluarga gue yang pergi ke Malaysia tidak dalam rangka jadi TKI. Dan setelah sekian lama akhirnya gue, dengan niat yang mantab dan sholat tujuh rakaat, membuka kembali makalah yang bakal gue presentasikan nanti. And yeah, gue lupa ini makalah ngebahas apa. -_-

Masalah pertama yang muncul dalam persiapan adalah ini : gue ga punya paspor.

Gue pernah dengar kalau ngurus paspor itu serem. Ribet ngurusnya, lamaaaa nunggunya. Di ruang foto kopi aja nunggunya bisa dua jam. Apa sebaiknya gue nunggu di ruang seduh kopi aja ya? ga ngaruh.

Dengan pertimbangan otak pas-pasan dan waktu persiapan yang mepet gue merasa ga mungkin bisa ngurus paspor manual tepat waktu. Gue, lebih tepatnya bokap, mencari jalan keluar yang lebih pintas.

Dan setelah upaya pembuatan paspor kolektif  ga berhasil, dengan waktu kurang dari seminggu gue harus udah beres ngurus paspor. Khukhukhuu. Yawes daripada entar di Kuala Lumpur gue ditangkep pak cik opsir karena dikira TKI ilegal, maka gue meluruskn niat buat urus paspor di kantor imigrasi Jember. Dan benar, kesempitan gue jadi kesempatan yang heboh bagi Calo-calo kantor imigrasi. Yah, mau gimana lagi, namanya juga butuh, gue akhirnya milih bikin paspor yang bisa jadi sehari (dan ternyata bisa, ini nyata, sodara sodaraa). Dan tebak biayanya sampai enam kali lipat harga seharusnya. sadis.

Sempat ada perseteruan antara gue dan bokap, dimana gue manteb mau ke Jakarta sendirian dan papa yang kebanyakan nonton acara berita TV O*E. Gue yang lagi baca-baca makalah disamperin papa yang tiba-tiba bertanya "Nanti dari bandara Jakarta kamu kemana?", gue yang otak masih penuh sama Latar Belakang dan Analisis Data jadi bingung dan gelagapan. Maka untuk menghindari bokap yang panik anaknya jadi tunawisma ibukota gue bilang ke papa.

"Tiket pesawatnya kan masih tanggal 21, sedangkan kampus IIP buka tanggal 23, jadi nanti dari bandara rencananya mau ke rumah temen dulu di Jakarta" gue nyebut kata 'rumah temen di Jakarta' sambil otak gue mikir siapa temen gue yang rumahnya di Jakarta.

"Sama siapa kamu?" tanya papa. "Sendirian, pa"
"Sendirian?"
"uhh, iya, sendirian"
"Memangnya kamu tahu jalan keluar dari bandara?"
"kan ada Damri pa"
"kamu tahu jalan ke Lebak Bulus?"
"Kan sopir angkotnya tahu"
"Kamu tuh ya, kamu tahu gak di berita tadi pendukungnya Jokowi akan demo, tahu kamu?!" papa tiba-tiba sewot. "i, i, iya pa"
"Nanti kalau jalan dari bandara banyak perusuh kamu mau kemana?"
"ya, anu pa, nyari jalan yang aman"
"jalan aman kemana?"
"ya ga tahu, liat nanti aja, tanya-tanya"
"kamu tuh ya, demo rakyat itu berbahaya, banyak perusuhnya, ini yang mendemo ini kekuatan Rakyat!" bokap gue emang Jokowers sejati. "nanti kalau kamu kamu ga bisa keluar dari bandara dan mati dalam kerusuhan itu gimana?! pikiranmu begitu pendek, anak muda, kurang persiapan! pokoknya kalau nanti ada ribut-ribut di bandara kamu harus langsung sembunyi, cari tempat aman dan kalo perlu cari penginapan sampai kerusuhannya hilang". Bokap mulai terdengar seperti aktifis 1998 yang bercampur dengan adegan chaos World War Zombie. Bahaya banget!
"i, i, iya pa. siap"

gue nelen ludah.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------

Paspor di tangan, gue berangkat ke Jakarta dengan tiket Surabaya - Padang via Jakarta yang udah terlanjur gue beli (iya, emang bego). Gue mendarat di Soehat dan lanjut naik Damri tujuan Lebak Bulus, trus naik bis jurusan Bekasi Timur, ke rumahnya Mpok Nabire, eh, Nabila. Setelah upaya membujuk Yogi dan Anam berakhir PHP. Kamvret!

Sampai di Bekasi Timur Gue disuruh nunggu di BTC agak lamaan dikit. Yawess gue makan dulu di sana. Dasar emang ga pernah ke BTC dan bingung nyari pojokan tempat makan, gue masuk aja ke restoran cepat saji yang ada di bagian luar gedung.

Gue kasih loe satu pengertian yang mendalam. Junk artinya sampah, dan Food artinya makanan. maka kalau digabung menjadi sebuah istilah Junk Food atau makanan sampah. Dan ternyata, rumor junk food itu benar adanya, kawan, makanan yang gue pesen nasinya basi. Oh my god dragon (astaganaga), Ga mood buat makan apa-apa lagi, gue akhirnya bertahan dengan sepotong paha ayam krispi.

Setelah beberapa tetes iler, Nabila datang dengan mobil, diajudani dua nindya antah berantah yang 'pecah' abis. Malam itu, isinya ketawa mulu.

Nabila alias Nabire alias Nabihun alias Nabinal alias Bela adalah (dulunya) temen sekelas gue yang rumahnya di Bekasi Timur. Sebagai teman sekelas yang juga temen sederet (dulu kebiasaan kami dikelas suka duduk berderet gue, Andrew, Fairus, Daud, dan Nabila. Sengaja lurus dan rapat di shaf paling depan biar pahalanya banyak) gue punya kenangan-kenangan manis sama dia. Salah satunya adalah momen dimana gue ngebangunin dia lagi tidur tertunduk di sandaran tangan, dan Nabila bangun dengan anggun sambil ilernya mengalir berjatuhan. Anti mainstream.

Kenangan lain adalah setiap kali ujian gue, Nabila dan Fairus selalu jadi orang terakhir yang tinggal dikelas. Biasanya, kalau sudah sampai di 20 menit terakhir kita bertiga akan saling pandang dengan pandangan 'awas loe ngumpulin duluan' yang biasa dibalas dengan pandangan 'iye, gue juga belum selesai'. Begitulah kami biasa berbicara dari hati-ke-hati sebagai Penghuni Terakhir.

Dan sekarang Nabila melanjutkan semester 5 di kampus IIP, meninggalkan gue dan Andrew. #LaguGugurBungaMengalun

Hari kedua gue di Bekasi, gue mengarungi jalanan Bekasi mencari rumah Bebi (namanya Nur Islamiah, ga ngerti juga Bebi-nya dari mana) nganter surat cuti Emil.

On the way there, di atas motor gue berpikir, Bekasi jengah ya.

Gue ngerasa ada sesuatu yang biasa gue temukan di Lumajang (bahkan di Bukittinggi) yang ga ada di Bekasi. Seperti atmosfir yang berbeda masuk ke dalam kepala, membawa hawa Kosmopolit yang menjengahkan. Gue kira, gak semua manusia bisa hidup ditempat kayak bekasi. Perlu kemampuan khusus, seperti bernafas lewat kuping, atau sebagainya. Ternyata gue salah.

Bekasi memang kota yang beda dengan tempat hidup gue. Udaranya panas. Mobil-mobil bergerak ga lebih cepat dari suster ngesot. Sungai yang mengalir berwarna hijau tosca berbusa. Gue sempat mengira itu adalah aliran ingus maha besar, ternyata gue salah karena sepanjang aliran itu gue lihat orang-orang mengambil air minum, mencuci baju, dan membuang hajat. Romantis.

Gue pikir, lingkungan kosmopolitan seperti Bekasi hanya bisa ditempati oleh 'orang bekasi'. Tapi gue harus inget bahwa diantara orang-orang Bekasi ini dulunya adalah orang sumatera, orang sulawesi, atau orang Jawa kayak gue.

Orang-orang yang baru tinggal di Bekasi, mungkin mereka pun menemukan kejengahan. Mungkin mereka merasakan keasingan. Atau mungkin meraka merasakan anxiety karena ada harapan yang menjanjikan untuk tinggal di Bekasi. Suatu harapan yang membuat mereka berpikir bahwa Bekasi adalah tempat yang pantas untuk diperjuangkan.

Lalu mereka melakukan penyesuaian. Penyesuaian-penyesuaian yang tidak mudah, yang membuat diri mereka akhirnya terbiasa dengan Bekasi, begitupun Bekasi menjadi terbiasa dengan mereka. Mungkin, untuk bisa tinggal di tempat yang baru, kita memang perlu melakukan penyesuaian.

Seperti berpindah hati.

Seseorang yang baru berpindah hati tidak akan menemukan kenyamanan yang sama dengan hati yang dia tinggali dulu. Ada beberapa perbedaan yang tidak berarti ketidaknyamanan hanya saja membuthkan penyesuaian. Sehingga waktu membawa kita menjadi terbiasa. Dan mulai untuk tidak ingin meninggalkan.

Mungkin, gue cuma belum terbiasa.

Sekitar dua hari gue dirumah Nabila dengan nyokap yang baik banget dan bokap yang gokil abis ditambah adek-adeknya yang nyunyu luar biasa bikin gue nyaman disana (terutama karena ada kurma setoples). Di rumah Nabila gue juga dibikin rame temen-temennya nindya juga.

Berangkat ke kampus IIP di Cilandak. Nabila yang nyetir. Gue sih tenang-tenang aja sampai akhirnya gue tahu ini pertama kali dia bawa mobil di jalan tol, gue dzikir.

Di kampus IIP, banyak emosi bertemu. Rasa pernah berambisi untuk bisa kuliah disini, rasa rindu dengan teman-teman lama yang akhirnya ketemu disini, dan rasa takjub atas mereka yang bisa berada di kampus ini. Lebih dari itu, gue merasa cuma sebagai tamu disini, gue gagal buat bisa lanjut di IIP. Sosok tidak layak yang disambut senyum dari mereka yang masih percaya bahwa gue ikut ke IIP.

Malam itu, setelah pertemuan dengan mereka yang akan ikut terbang besok, gue dan fairus menikmati malam panas pertama kampus Cilandak. Hanya pertama, tanpa baju. ya, benar-benar PANAS! (arti sebenarnya, tolong jangan salah paham)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar