Kamis, 27 Juni 2019

KETUPAT DAN CINTA

Lebaran tahun ini jackpot banget buat gue. Selain libur PNS nambah 3 hari (jadi sekitar 12 hari) THR tahun ini juga lumayan gede. Tapi ternyata ini juga ngebuka mata gue kepada kenyataan bahwa gede belum tentu tahan lama. Maksud gue, uang THR yang terasa harusnya cukup untuk selama lebaran dirumah ternyata tidak cukup. Rupanya memang terbukti kata orang-orang bahwa THR itu singkatan dari Tiba Tiba Hangus dan Raib. Sedih.

Cuti lebaran yang agak panjang membuat gue bisa liburan agak tenang. Beberapa agenda sudah tersusun dengan rapi dan menyenangkan. Dimulai dari kepulangan gue naik kereta tanggal sembilan juni dari Bandung menuju surabaya. Bukan jiwa petualang yang membuat gue naik kereta dari Bandung dan bukan dari Jakarta. Tapi kekalahan yang menyedihkan di Ticket-War 90 hari sebelum hari keberangkatan. Gue kehabisan tiket, hanya karena aplikasi kampret yang eror ketika tinggal tekan tombol bayar. Akhirnya restart 5menit dan tiket keretapun ludes. Fog you KAI Access. Mungkin harusnya aplikasi ini berubah nama dari KAI menjadi .... ubah sendiri salah satu hurufnya.

Enam jam Bus Pimajasa Jakarta - Bandung ditambah Tujuh belas jam KA.Pasundan berangkat pkl. 05.00 tiba pkl. 22.00 di Surabaya. Gue officially #pemudik2018. It feels amazing dengan pantat yang mati rasa.

Gue bermalam di Surabaya dan melanjutkan perjalanan pulang dengan bus setelah sholat subuh. Turun di Klakah, Kakak gue sudah menunggu dengan perut hamil 12 bulannya. Kakak gue Cowok btw.

Tanggal sepuluh juni 2018 buka puasa pertama gue di Lumajang tidak bersama nyokap dan personel keluarga yang lainnya di rumah. Sorenya gue tancap gas motor merah putih kebanggaan bangsa untuk buka puasa bareng Dewan Kerja se Lumajang di Sanggar Kwarcab. Ya, masih dengan Pramuka.

Buka bersama di lingkungan Pramuka terasa nyaman dan ramai, seperti biasa. Meski dikesempatan buka puasa pertama gue di Lumajang tidak gue lakukan dirumah. But i am fine, honestly. Mungkin karena hampir sebulan ini buka puasa gue juga gak dirumah. Jadi ga ngerasa sedih atau yang gimana. Tapi orang-orang seakan ngasih pandangan kok-ga-buka-bareng-keluarga-dulu ke gue sambil nanya pertanyaan2 senada dengan pandangan itu. Tanpa mereka tahu bahwa ada di tengah Pramuka sudah membuat gue ngerasa ada di tengah keluarga.

Jadi pada dasarnya kegiatan buka bersama ini sudah direncakan sejak minggu pertama bulan Ramadhan. Gue dibantu beberapa orang panitia yang gue sebut Panitia Sembilan. Kenapa namanya Panitia Sembilan? pertama karena jumlah personelnya sembilan. Kedua karena keren, seperti panitia yang ditugaskan mengurusi kemerdekaan bangsa Indonesia. Bedanya disini yang diurusi adalah perut-perut yang menuntut dimerdekakan.

Buka puasa kedua, tanggal sebelas, gue mengajak seisi rumah untuk buka di luar. Buka di luar bukan maksudnya gelar tikar depan rumah. Tapi keluar untuk hangout, hitung2 sambil nyari "baju raye". To jember we went.

Dikarenakan bokap ada di Malaysia gue ngerasa kayak jadi Bapak di keluarga ini, yang ngegandeng nyokap kemana-mana sambil ngurusi dua alien kecil yang mulai banyak tingkah polahnya. Sementara kakak gue belanja sama istrinya. 

Hari selasa adalah harinya event paporit tiap tahun. Buka Bersama ***cok. Always feel warm and comfy. Dan sekali lagi, berasa di keluarga. Gue dateng bareng Asti, teman seperjuangan di angkatan #26. Wakil Pradana di jamannya. Saat masih menjabat Dewan Ambalan Asti ini bener-bener kayak jadi ibuk-ibuknya anak-anak dan gue ayah tiri nya. Di lokasi ada mas Rega dengan istri, Pak Luluk yang masih pembina gudep, Mas Bayu yang sekarang jadi pembina satuan, dan adek-adek penerus yang unyu2. Mulai dari angkatan#27 sampe yang sekarang aktif angkatan#33. Dan yang pasti, the legend, om Prio. 

BTW biar ga salah paham, ini judulnya Buka Bersama Hoscok.

Tanggal tiga belas adalah tanggalnya gue merger dua keluarga. Yakni keluarga gue dan keluarga koala. Dalam sebuah buka bersama dan main bersama di BJBR. Semua berjalan menyenangkan sampai akhirnya di mobil gue ngecek kamera mirrorless dan menyadari bahwa foto keluarga lengkap, yang fotografernya minta tolong ke mas-mas yang lagi lewat ditempat, tidak ada. Masnya tidak motoin. Dia cuma mencet setengah (adjusting focus) dan bilang "sudah bagus". Dia kira bunyi "tit" dari "focus" adalah bunyi dari "shutter". Kami gondok sekeluarga.

Buka puasa terakhir akhirnya gue buka puasa di rumah. Tapi enggak sendiri. Gue ditemenin teman2 alumni SMPN 1 Randuagung. Ada sekitar sepuluh orang yang dateng. Disana kami rapat buat ngebahas persiapan reuni sepuluh tahun kelulusan angkatan kita dari SMP. Kerasa tua ya.

See, event demi event yang gue lewatin untuk buka puasa di Lumajang kebanyakan ga bareng keluarga atau sanak famili. Justru bareng teman-teman gue Pramuka dan teman SMP. Sekalipun dengan keluarga adalah keluarga inti dan bener2 acara di luar. Ga ada meja keluarga. Ga ada yang teriak "mak magrib mak". Ga ada. Buka puasa di Lumajang tahun ini beda.

Tapi meski kondisi dan situasinya beda buat gue tidak ada yang membuatnya terasa beda. Buka bersama mereka, para armada tunas kelapa dan teman nostalgia, sama nyamannya seperti bersama keluarga. Feeling warm and comfortable. Dimanapun terasa seperti dirumah. Siapapun terasa seperti keluarga. Mungkin karena mereka adalah juga yang gue rindukan selain nyokap dan keturunannya. Mereka adalah yang selama SMA nemenin gue selama gue gak dirumah. Jadi wajar kalau gue bilang bahwa nyokap adalah yang gue rindukan di rumah dan Pramuka adalah yang gue rindukan di luar rumah.

Akhir cerita ramadhan saatnya Lebaran, melanjutkan tradisi. Berkunjung ke sanak famili, terutama yang lebih "senior" di antara garis keluarga. 

Lebaran kali ini gue berkunjung ke lebih sedikit rumah sodara dari biasanya. Kalau dirasiokan, waktu lebaran gue habis sepertiga untuk kerumah sanak famili, sepertiga untuk teman-rasa-keluarga, sepertiga lagi tidak melakukan apa-apa dan hanya menikmati ketenangan yang tidak ada di ibukota.

Lebaran sebelumnya gue bisa sampai ke sodara-sodara yang agak jauh tempatnya dari rumah gue. Bisa dibilang butuh semangat lebih lah untuk berangkat ke sana. Lebaran kali ini berkurang hampir setengahnya. Justru ke rumah-rumah teman-teman inilah yang tidak berkurang. Entah kenapa pergi kerumah mereka justru lebih semangat dan menyenangkan daripada kerumah "keluarga" yang sebenarnya gue sendiri banyak ga tau garis keluarganya dari mana. Bukan gue apatis, gue udah tanya dan cari tahu tapi tetap tidak ada jawaban yang jelas dan konkrit bahkan jika itu jawaban dari nyokap gue sendiri.

Berkunjung dan menjaling silaturahmi dengan mereka terasa lebih emosional. 

Keluarga tidak terbatas pada kesamaan darah. Lebih dari itu keluarga itu berdasarkan kesamaan perasaan. Saling menyayangi, no matter what. Saling mencintai dalam kondisi apapun.

Menakar cinta, mungkin tidak dinilai dari sesederhana perlambangannya. Cinta tidak seharusnya mulus dan imut dengan bentuk cupid pink seperti itu. Tapi runyam di luar, indah di dalam. Seperti ketupat, Rumit dan jelek dari luar, tapi menyimpan makanan yang mulus dan putih di dalam.

(ini adalah artikel yang ditinggalkan sejak lebaran tahun 2018, baru tersentuh kembali. selamat menikmati, semoga tidak basi)