Selasa, 01 April 2014

"Masih Ingat Saya?"

Gue maklum, kalau ada orang yang ngira gue adalah hasil peranakan orang jawa dengan manusia inca yang bisa tidur sampe mati. Mengingat kebiasaan gue sering molor di kelas akhir-akhir ini. Yap, mahasiswa tulen, malamnya begadang, siangnya mapan di kelas. Gue merasa keren, kaya batman epilepsi.

Dulu gue percaya kata orang tua kebanyakan molor bikin orang cepet lupa pelajaran di sekolah. Belakangan gue sadar, orang tidur mana bisa inget sekalinya ada badak masuk kelas?

Gue pernah melakukan penyelidikan, dengan teori bahwa sifat diturunkan lewat gen, gue menemukan bahwa kekuatan molor gue ini mirip ama : mas gue. Yap, mas gue, si manusia ngorok. Kalau orang molor diidentikan dengan Kebo, maka mas gue bisa diidentikkan sebagai Kebo Mabok Lem. Tidurnya itu yang tidak akan tergoyangkan meski tsunami chile beneran nyampe ke indonesia. Pulas banget gitu. Digiles mobil aja belum tentu bangun tuh. Pernah gue ama nyokap pulang dari kondangan jam sembilan malem dan sialnya pintu udah kekunci semua, semua, jendela wc juga. Dan mas gue dengan khusyunya molor ilernya ngeces dimana-mana. Gue udah nyoba gedor2 pintu sampe tangan ampir buntung, eh, kagak mempan. Setelah dua jam perjuangan dibantu tetangga, akhirnya gue ama nyokap tidur di rumah tetangga. Besoknya mas gue dipecat sebagai anak. Khukhuu

Tidur memang kebutuhan semua makhluk. Tidur, molor, sleeping, atau yang identik dengan ngiler-yang-tanpa-diakui-dan-disadari, sudah dilakukan sejak makhluk pertama diciptakan di bumi. Semua orang suka tidur. Beberapa malah hobi tidur (ada yang pernah nulis hobinya "tidur" selain keponakan gue disini?). Makin tua orang makin sering tidur. Sesuai dengan hkum newton 1 : kebutuhan tidur berbanding lurus dengan usia (ngarang).

Kenapa gue jadi ngomongin tidur yak? -_-

Oke cukup ngelanturnya, here it is, gue inget, gue mau ngomong tentang nenek gue. Dan nenek gue itu suka tidur lhoo (maksain, biar nyambung).

Gue sayang nenek gue. Cusanek (cucu sayang nenek) itulah gue.

Bisa dibilang nenek udah jadi ibu kedua gue. Sebagian besar masa kecil gue abisin buat maen di rumah nenek. Mulai rumahnya masih dari bambu dulu sampe sekarang udah tembok semua. Nenek guelah yang masakin gue makan, ngerawat gue kalo sakit, dan nyuruh tgue urun kalo lagi ketauan nyolong mangga tetangga. Nenek dan kakek (dari bokap) adalah duet maut yang ngajari gue ngaji dan sholat. Tiap magrib sampe isya gue mengaji al-quran sama kakek dan nenek gue. Seenggaknya sampai gue lulus smp, dan pindah ke kota buat ngelanjutin sekolah gue.

Nenek gue, entah dengan alasan apa, suka banget sama nama gue. Dia yang pertama ngasih tau arti nama Firdaus di nama gue. "itu nama surga Allah yang paling bagus, kalau tole rajin sholat nanti tole bisa masuk surga Firdaus". Gue bengong, nenek bicara dengan bahasa jawa-madura yang campur aduk didepan bocah yang bahkan belum bisa ngebersihin ingusnya sendiri. "nenek juga masuk surga? kan nenek rajin solat?", nenek gue menjawab "iya, nanti kakek, nenek dan robi bisa ketemu di surga Firdaus". And i remember how romantic that afternoon was.

Makin tua, nenek gue makin pikun. Dia makin lupa satu persatu mulai dari hal yang tidak penting sampai yang sangat penting (seperti lupa jalan pulang dari sungai) dan yang amat sangat penting sekali banget (seperti lupa gue ini anaknya siapa -_- ).

Gue ga nyalahin nenek. Usialah yang memaksanya melupakan hal-hal itu.

jalan pulang kerumah, tempat nyimpen panci, kunci pintu rumah, dan cucunya : gue. nenek lupa, mulai dari wajah gue, suara gue, sampe kenyataan bahwa gue ini cucunya. Dan mungkin juga cucu-cucunya yang lain. Jadilah tiap gue pulang ke rumah nenek gue cium tangannya sambil bilang "ini robi, cucu nenek". Meski kadang butuh tambahan 10 menit untuk benar-benar mengingatkannya.

Nenek gue emang udah tua, dan dia mulai lupa banyak hal. Yang gue tau sih, satu-satunya yang sering nenek gue omongin adalah kepergian om gue, anak keduanya, adik bokap gue. Tiap gue datang, apa yang dia pesankan adalah untuk mendoakan om yang udah pergi meninggalkan dia lebih dulu. Selalu itu, selalu dengan nada lirih dan dengan mata yang berlinang. Setiap kalinya gue lihat raut kehilangan dari wajah nenek. Segitu sayangnya nenek ama om. Mungkin karena omlah anak yang paling perhatian ama nenek gue. *Pesan moral : berbakti kepada orang tua bisa ga dilupakan.

Masuk IPDN, hubungan gue ama nenek jadi makin jauh. Banget. Gue cuma bisa pulang enam bulan sekali, di satu sisi nenek gue terus kehilangan daya ingatnya. Jadilah setiap gue pulang ke rumah nenek gue cium tangan nenek sambil menambahkan beberapa kata dibelakang kalimat yang biasa gue ucapkan "ini robi, cucu nenek, masih ingat?".

You know, it felt a bit rough.
Dari sini gue udah merasa, gue udah kehilangan nenek gue.

Makin lama gue makin sering bilang "ingat saya?" ke nenek gue cuma buat dapetin ingatan dia bahwa gue masih cucunya. Cucu yang namanya paling disukai. Cucu yang suka tidur dipangkuannya waktu jagain jemuran padi sore-sore. Cucu yang sering ngilangin sendok buat buat maen oasir-pasiran.

Sekarang, jangankan arti nama gue, bahkan gue anak siapa nenek lupa. Gue takut kalau-kalau gue masuk rumahnya tiba-tiba diteriakin rampok.

Nek, cucumu rindu.

------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Makin dewasa kita ngerasa waktu berjalan cepet banget. Sambil menyalahkan banyaknya pekerjaan atau jarum jam yang berputar terlalu cepat, memunafikkan bahwa sebenarnya kitalah yang kurang bisa menghargai pentingnya 'waktu'. You know, time is money, in fact money can't buy your time back. Orang kaya pun tidak bisa hidup lebih lama.

Tanpa kita sengaja, waktu telah membawa kita pada tempat dimana kita berada sekarang. Gue lihat sekeliling kamar, gue lihat badan gue sekarang, gue lihat jauh ke dalam diri gue sendiri. Dan gue sadar, gue ga pernah merencanakan 'all of this part of me'. Waktu yang membawa gue jadi bocah 170 cm (which is taller than siblings), punya seragam dinas, punya temen dari nusantara. Waktu yang bertanggung jawab atas keriput-keriput di wajah nyokap.

Dan,
Waktu jugalah yang membawa satu persatu orang di sekitar kita pergi meninggalkan kita.
yap, kita tidaklah abadi.

Waktu yang berjalan sekarang tidak pernah kita pinjam dari orang lain. waktu yang kita jalani adalah life period milik kita sendiri. menyia-menyiakan waktu sama aja membuang hidup kita sendiri.

Gue benci banget ama orang yang suka mengeluhkan keadaan. Yang uangnya habislah, yang tugasnya numpuk, atau yang jenggotnya udah nyentuh mata kaki. Menurut gue orang seperti ini ga mau menerima takdir yang bahkan dia belum tahu seperti apa akhir ceritanya. Orang seperti ini hanya menginginkan keadaan yang sudah menjadi kebiasaannya. Dont you ever heard that special thing is always an out of the box thing? dan pada akhirnya orang seperti ini akan mati dalam kebiasaannya. Kebiasaan yang juga menjadi kebiasaan orang biasa. Kebiasaan yang nyaman. Yang ketika waktunya tiba kita mati, dan dilupakan begitu saja.

Someone ever said, success is not about living forever but creating something that will.
Sesuatu yang hidup terus. Dan investasi sebesar itu depositonya adalah 'waktu'. waktu yang digunakan untuk berbuat sesuatu yang bisa diinget banyak orang untuk waktu yang lama. Karena gue percaya, Ingin hidup kita dikenang atau dilupakan sepenuhnya kitalah yang menentukan.

------------------------------------------------------------------------------------------------------------

25 maret 2014, waktu memberi gue kenyataan pahit kalo nenek gue udah harus pergi menghadap Sang Azza Wa Jalla. Gue ga liat secara langsung, tapi gue yakin nenek gue pergi dengan tenang. Dia nenek yang baik, hamba yang taat, sosok nenek yang ga akan dilupain.

Tidurlah nek, sekarang nenek bisa tidur dengan tenang. Nenek gue mungkin lupa jalan pulang ke rumah tapi tidak akan kehilangan jalannya ke Firdaus, surga kesukaannya.

Dan sekarang di hari ketuju kepergiannya, gue masih berharap bisa ketemu nenek dan bertanya untuk satu kali lagi "masih ingat saya?"


Tidak ada komentar:

Posting Komentar