Sabtu, 19 April 2014

Get Home


waktu masih belum akil balig dulu nyokap pernah bilang ke gue "jangan maen terlalu jauh dari rumah, nanti bisa hilang". Tapi gue berpikir, kalau kita ga pergi 'jauh' dari rumah, maka kita ga tahu ada dimana rumah kita sebenarnya. 

"dunia itu luas, kawan, jangan hanya duduk diam di rumahmu". kata seorang angga. temen seperjuangan. dengan kalimat ini dia jadi tidak terlihat dongo, seperti biasanya.

lalu di usia sekarang gue mulai paham arti pentingnya rumah. kadang kita ngerasa nyaman pergi ke suatu tempat, hanya karena bosan trus2an berada di rumah. namun lambat laun, tanpa perlu kita rencanakan, kita justru akan bosan dengan 'pergi' itu sendiri dan kenyamananpun digeser dengan kerinduan untuk Pulang ke rumah.

bagi gue, 'rumah' gak hanya bangunan tua 4 kamar, dengan TV, dapur, dan wastafel tempat gue biasa pipis. buat gue, rumah adalah tempat dimana gue belajar dan diajarkan tentang banyak hal.

misalnya, rumah adalah tempat pertama kali gue belajar bisa ngomong, dan diajarkan untuk hanya ngomong hal yang baik, sopan dan jujur, bukan yang sukanya nyanyi-nyanyi dengan biadab di kamar mandi. di rumah juga pertama kali gue belajar bisa berjalan dan diajarkan untuk hanya melakukan hal-hal yang baik, bukan mandi sore aja bisa sampe setengah jam di kamar mandi. (ini semua misal) (believe it or not)

rumah menjadi sarang tempat gue tumbuh dengan binal (ditandai dengan masa kecil sering tidur di lantai sambil telanjang, sejuk depan belakang vrohh...). rumah menjadi kotak menyimpan perasaan waktu lagi galau, jatuh cinta (sampai dijatuhin cinta), seneng dapet juara, memar berantem sama mas sendiri, atau baring-baring pake selimut lalu bilang "ma, adek sakit, hari ini ga sekolah ya..".

rumah menjadi berangkas, dimana gue menyimpan banyak kenangan dengan banyak potongan hati yang warna-warni. dan semakin kita menaruh potongan hati di suatu tempat semakin kita ingin kembali untuk sekedar 'menjenguk' dan mencicipinya lagi. ini membuat gue mengerti, kenapa yang namanya ikatan keluarga itu sangat kuat. dan kenapa ada yang namanya keluarga kedua atau rumah kedua. mungkin, disana, telah tercecer potongan-potongan hati yang sama.

di rumahlah, gue diajarkan nilai-nilai kebaikan dan kebijaksanaan. tentu dulu gue menganggap orang-orang ini cerewet dan berkata hal yang tidak penting. but as time goes and i grew up, what had they said just like miracles.

seiring gue membesar dan bergaul dengan banyak orang, gue mulai terlalu sering bermain jauh dari rumah.

dulu buat gue buang sampah sembarangan itu 'tidak baik', perlahan 'tidak baik' itu gue geser menjadi 'kurang baik', hingga akhirnya menjadi 'tidak apa-apa'. jaman masih SD gue beranggapan mencontek adalah perilaku yang 'tidak terpuji' (setidaknya begitu yang tertulis di buku), di SMP 'tidak terpuji' itu perlahan bergeser menjadi 'sekali-kali engga apa-apa'. tiba waktunya unas eh malah jadi semacam 'sunnah muakkad'. gue ada di IPDN, and everything got to be worse now. mengenal kata-kata kotor, hingga terbiasa dengannya. atau sifat-sifat kotor, yang mulai menyerang membujuk. hmm.. mungkin, gue emang udah maen terlalu jauh dari rumah.

secara perlahan mulai merasakan apa yang waktu dulu disebut-sebut sebagai 'demoralisasi', atau apalah, sebagai hal yang beneran terjadi pada diri gue. merasakan perlahan nilai-nilai kebaikan itu bergeser. apa yang dimaksud nyokap "bermain terlalu jauh dari rumah" bisa jadi seperti ini. terlalu sibuk berpetualang, membuat gue hilang dari semua kebijaksanaan yang pernah ada di rumah. 'hilang'yang dimaksud mama gue mungkin juga berarti lupa dengan semua yang dia ajarkan, hingga pada akhirnya anak manusia tersesat dan tidak tertolong oleh siapapun. mama gue emang paling keren!

------------------------------------------------------------------------------------------------------------

IB tanggal 17-19 kemaren gue naik gunung. lagi. entah kenapa gue emang suka banget ama 'gunung'. bentuknya indah, dan penuh emosi di setiap melihatnya. uohh..

gunung yang beruntung untuk gue daki itu adalah gunung Singgalang, 2877 mdpl. Tempatnya ada di kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat, Pos Pendakiannya di Koto Baru, tempat Tower-tower Stasiun TV didirikan. buat yang mau mendaki kesana, search ada di google. infonya banyak.

rombongan berisi 12 keong racun yang siap membasmi keperawanan. 11 madya, 1 nindya. dan kali ini di rombongan gue ada fatur. cukup istimewa, manusia otak habibie badan ikan teri ini nantinya jadi 'penebar berkah' dengan doa-doanya di sepanjang perjalanan. kita sepakat harus menambahkan S.Ag di belakang namanya nanti.

pendakian dimulai jam 18.00 dari pos stasiun TV, ngelewatin jalan Pimpiang, dan rimba terjal. sampai jam 22.30 kita tiba di batas rimba. kita putuskan untuk mendirikan tenda disini, di punggung cadas. dan setelah berbagai kericuhan saat kompor hampir meledak karena gas hi cook yang tidak dikunci, gue akhirnya bisa menikmati minuman paporit gue di atas gunung : wedang jahe hangat. uenaak.

you know, berada di rimba seperti ini tidak pernah seburuk yang kita pikirkan. atau yang orang tua gue pikirkan (yang dipenuhi dengan boyband kolaborasi antara gondoruwo, kuntilanak, elang raksasa). menurut gue rimba punya sincerety tersendiri. aroma alam bebas dari pepohonan yang ditiup angin, dengan bintang-bintang dan sruput-sruput wedang jahe. i always love a life like this. sensasi dingin dan lelah yang membuat semuanya semakin terasa lebih 'nyaman'. seru. dan bau. terutama kalau ada yang bakar-bakar kaus kaki basah dengan entah apa tujuannya. (yang belakangan gue sadar itu kaus kaki gue). there, at 2600 mdpl, tadinya gue mau tidur ala-ala 'sleeping beauty'. tapi fatur berkehendak lain.
#boom
"ini siapa yang kentut?"
"gue" jawab fatur, polos.
dan suasana malam itu mendadak berubah menjadi 'ryme in peace'.

terbangun jam tiga pagi dan memaki diri sendiri karena ga pake penghangat kaki, betis gue kram. sakit. gue guling kanan, guling lagi kekiri, sambil mengerang. bagus, sekarang gue kayak ikan paus abis disunat.

jm lima gue putusin untuk keluar tenda dan mulai membuat keributan dengan membuat simulasi gempa bumi di perkemahan. caranya, gampang, pegang kerangka tenda, goyangkan sekuat tenanga sambil kaki menirukan suara orang lagi berlari. voila!  maka seisi tenda akan berteriak dengan suka cita "Allahuakbar, gempa, Allahuakbar, ampuun yaolohh". ektrem, gue tahu. but it was seriously funny.

jam 05.20, sudah hampir tiba saatnya, gue ga mau ketinggalan bagian terbaik dari pendakian ini. gue mulai naik satu persatu batuan cadas sampai ketinggiannya cukup dan..... here comes the sunlight. eh, sunrise!.

Marapi about to sunrise, dan sinyal ajaib


















sunrise di punggung cadas, di gunung singgalang, di sini gue diem lama. mencoba meraba-raba  apa yang coba gue capai sampai sejauh ini, setinggi ini. gue duduk, menarik nafas paling dalam dan memejamkan mata, mencoba masuk ke dalam diri gue yang lain. setiap udara yang masuk hidung membawa aroma kehidupan yang belum tercemari. sejuk, senyap, dan hijau. gue buka mata, and again, gue meratapi bentangan bumi ini. "Negeri ini indah, Tuhan. Bantu aku menjaganya". kalimat yang menemani gue di lima puncak, terucap kembali.

gue masih duduk melamun. menikmati angin berembun menerpa wajah, wushh...... srot srott, sial hidung gue meler.

saat kayak gini enak buat memunculkan satu persatu perasaan dan menikmatinya. perasaan enthusiasme mulai dari ngumpulin anggota, ngumpulin duit, ketauan ama Pudir, sampai adukan emosi di tiap langkah mendaki semalam. teriakan, tawa, jatuh guling-guling, dongkol, semua jadi terasa lebih manis sekarang. sampai tanpa sengaja tiba-tiba melamunkan seseorang. (sumpah, orang itubukan fatur).

20 menit dari camp adalah target tujuan, Tiang dengan angka 0, artinya kita udah nyampe Telaga dewi. Telaga Dewi ini semacam kawah yang mati trus diisi aer ujan. viewnya keren. mengingatkan pada ranu kumbolo. hehehee. here, we have some nice breakfast of coffee and bread.

Boyband bernama One Direject

#Kayang Everywhere

Kayang di hutan lumut #Kayang Everywhere

Bang, Villa, Bang!

Fatur : Bukti Hidup Teori Evolusi Darwin

Niatnya sih biar keliatan euforia, apa daya malah jadi autisria

Pohan : "Rasanya ruarrrr biasa"


Telaga Dewi memang bukan puncak dari Singgalang. masih ada 20 menit lagi melewati hutan lumut (yang cool abis). so, abis dari puncak (yang ternyata ketutup awan semua) kita langsung balik ke camp. dan terus turun menuju jalan pulang. perjalanan turun gunung lebih cepet, cuma sekitar 2 jam.

well, folks, maen kali ini emang cukup jauh. tapi sepertinya gue berhasil untuk tidak 'hilang'. Home is still the best place to cry, as wastafel is the best place to piss, isnt it?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar